Lanjutan Bag 2Masa Depan Indonesia
Berbicara aktor dalam peta persaingan dunia, terdapat 4 (empat) aktor utama; selain kubu kanan dan kubu kiri terdapat kubu yang penulis namakan kubu depan dan kubu belakang. Penamaan kubu depan karena karakteristik cenderung terang-terangan di depan berseberangan dengan semua kubu lainnya mewakili sebagian besar bangsa Arab dan penamaan kubu belakang karena karakteristik cenderung di belakang layar mewakili sebagian besar bangsa Yahudi; penamaan dengan istilah kanan, kiri, depan, belakang agar unsur-unsur SARA hilang dan pembahasan ini tidak melebar ke perdebatan keyakinan dan perlu ditegaskan juga bahwa penulis tidak menggali persoalan ideologi dan agama tetapi fokus tulisan ini adalah persoalan pengaruh dan kontrol terutama terhadap aspek-aspek politik, ekonomi, dan pertahanan keamanan.
Aktor-aktor dunia tersebut merupakan refleksi kondisi di Indonesia selanjutnya penulis namakan kelompok, berdirinya Indonesia juga merupakan konsolidasi 3 (tiga) kelompok yang dekat/dipengaruhi kubu-kubu; kanan, kiri dan depan sedangkan kubu 1 (satu/belakang) masuk daftar hitam Indonesia sejak kemerdekaan sampai sekarang karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang dianut Indonesia terkait konsep kemerdekaan (Israel vs Palestina), kalaupun kubu belakang pernah akan diakomodir masuk Indonesia adalah saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Gus Dur namun sebelum terjadi, mereka langsung di “cut” oleh kelompok kiri dan depan sehingga balik ke habitatnya di belakang layar; 3 (tiga) kelompok tersebut, pada awalnya dirangkul bersama oleh pendiri bangsa Indonesia; Soekarno, sejalan dengan waktu pergesekan terjadi dan menyebabkan perpecahan dimulai dari DI/TII dan puncaknya G30SPKI akhirnya dimenangkan kelompok kanan + 1 (satu/belakang).
Apa yang sedang terjadi saat ini juga cukup jelas terlihat bahwa sedang berlangsung pertarungan politik dari 3 (tiga) + 1 (satu/belakang), hanya saja kelompok depan selalu dijadikan tameng khususnya oleh kanan + 1 (satu/belakang); mengambil contoh dari Afghanistan pada masa pendudukan oleh Uni Soviet, Taliban disokong secara penuh oleh Amerika Serikat agar Uni Soviet dapat terusir dari Afghanistan, akan tetapi setelah Uni Soviet hengkang alih-alih kemandirian yang didapatkan malah sekarang di Afghanistan, Amerika Serikat yang menjadi musuh Taliban.
Kejadian yang mirip dengan Afghanistan dapat terlihat di Indonesia dalam skala cerita lebih kecil dengan kejadian yang baru saja dipertontonkan, ketika Menteri Dalam Negeri melontarkan wacana tentang FPI dan Kepala Daerah yang berkembang menjadi konfrontasi antara kiri dan depan, kalau saja kelompok kiri dan depan sedikit membuka mata mungkin tidak perlu terjadi konfrontasi; karena mereka sedang dimanfaatkan untuk saling berhadapan sehingga kanan + 1 (satu/belakang) tidak perlu mengotori tangannya untuk bertarung secara terbuka.
Dengan melihat dinamika yang ada; seharusnya kelompok kiri dan depan dapat bersatu atas dasar common enemy (kanan) + 1 (satu/belakang) bukan malah dengan mudahnya dibenturkan satu dengan lainnya, strategi seperti ini merupakan strategi kuno yang seharusnya kiri dan depan sudah mulai bersikap dengan cerdas menghadapinya bukan justru mengulangi sejarah kelam; pada jaman pra-kolonial, kerajaan-kerajaan Nusantara hidup berdampingan dengan damai bersama China dan Arab sampai akhirnya dirusak dengan adu domba oleh penjajah (kolonial).
Dari penjabaran singkat diatas, semuanya sudah cukup terang benderang mengenai kondisi saat ini dan masa depan Indonesia, namun ada satu isu lagi yang ingin penulis sampaikan dan cukup mengejutkan adalah apa yang ada didalam agenda pihak-pihak “asing” terutama kanan + 1 (satu/belakang) terkait masa depan Indonesia, salah satunya adalah rekomendasi resmi dikeluarkan oleh RAND Corporation kepada Pentagon (Amerika Serikat) bahwa Indonesia harus dibagi 8 wilayah.
Target kanan sudah dapat ditebak; status QUO, sebagai pihak berpengaruh dan mengontrol atau bila pengaruh dan kontrol tidak dapat dipertahankan maka tidak boleh ada kelompok lain yang berpengaruh dan/atau mengontrol di Indonesia (with us or against us), sehingga agenda memecah wilayah Indonesia ataupun menyerang Indonesia merupakan ancaman yang tidak dapat di pandang enteng.
Dimanakah posisi kiri dan depan terkait Indonesia kurang lebih sama yaitu ingin berpengaruh dan mengontrol, penulis akan meminjam pemikiran dari Hans Morgenthau: bahwa pria dan wanita memiliki “keinginan untuk berkuasa”. Hal ini dapat kita lihat didalam dunia politik khususnya politik internasional; “politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan cara-cara memperoleh, memelihara dan menunjukan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik”.
Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Tidak banyak yang memikirkan kompleksitas kepentingan, karena permasalahan Nasional saja sudah sangat pelik terutama masalah korupsi sistematis hingga dapat dikategorikan sebagai bahaya laten; dengan apa yang sedang berkembang di masyarakat; penulis menangkap 1 (satu) esensi dasar bahwa masyarakat sudah muak, membuat tingkat kepercayaan yang sangat rendah terhadap pelaksana Pemerintahan dan Negara sehingga masyarakat sedang aktif bergerak memimpikan perubahan, kearah yang lebih baik; fenomena ini harus dibayar mahal oleh kelompok kanan + 1 (satu/belakang), kehadiran mereka selama ini telah sangat mengecewakan dan akan segera ditinggalkan; pengaruh dan kontrol mereka akan mulai terkikis drastis disisi lain menjadi peluang yang akan diperjuangkan untuk dimenangkan oleh kelompok kiri, sedangkan kelompok depan dalam situasi ini belum dapat menunjukan eksistensi mereka secara politik.
Dikarenakan semua pihak berkeinginan untuk berkuasa, penulis berpendapat skenario perang hampir dapat dipastikan terjadi, kapankah? Melihat beberapa kejadian besar diatas maka dalam jangka pendek target pertamanya adalah perebutan melalui jalur politik pada PEMILU 2014, dari hasil PEMILU 2014 ini maka tindakan selanjutnya berkembang ke PEMILU 2019 dan 2020-2030. Beberapa skenario yang dapat penulis bayangkan adalah sebagai berikut:
Gambar: Dok. Pribadi
Didalam Intelijen, umum dikenal cara menghitung tingkat ancaman dengan rumus yang merupakan kombinasi dari Intention (niat), Capability (kemampuan), Circumstances (keadaan); terkait ancaman perang antara kanan dan kiri penulis mencoba memberikan ilustrasi secara singkat sebagai berikut:
- Intention (Niat):Kanan – Dengan agenda memecah Indonesia dan pergerakan kekuatan pada tahun 2020 demi mempertahankan pengaruh di Negara-Negara Asia-Pasifik, kuat mengindikasikan bahwa status QUO akan dipertahankan dengan ataupun tanpa kekuatan.Kiri – Manuver dan unjuk gigi kekuatan khususnya di perairan Laut China Selatan serta intensifnya China melakukan komunikasi dan menancapkan pengaruh terhadap Negara-Negara di Asia Tenggara kuat mengindikasikan bahwa China akan merebut pengaruh dan kontrol terhadap kawasan Laut China Selatan dan Negara-Negara di kawasan (Asia Tenggara).
- Capability (Kemampuan):Kanan – Dari ilustrasi peringkat dan belanja militer diatas, Amerika Serikat sangat siap untuk perang.Kiri – Memanfaatkan kondisi Amerika Serikat yang mengalami hantaman perekonomian dan momentum pertumbuhan pesat China, dalam rentang waktu 6 tahun (2014-2020) China akan siap untuk perang.
- Circumstances (Keadaan):Terjadinya perang tergantung dari Indonesia yang akan berperan sebagai war maker;Kanan – Apabila pengaruh Amerika Serikat hilang terhadap Indonesia dan/atau Indonesia berpihak kepada China maka berpeluang besar terjadi perang; sulit terelakan karena besarnya kepentingan mereka di Indonesia maka usaha merebut kembali atau malah menyerang Indonesia dengan tujuan agar tidak ada pihak yang merebut kepentingan mereka di Indonesia dengan mudah.
Kiri – Apabila China dapat memastikan Indonesia memihak dan/atau pengaruh dan kontrol dipegang oleh kelompok pro China, atau setidaknya Indonesia dalam posisi tidak memihak siapapun; China akan siap untuk berkonfrontasi karena dengan keberpihakan atau ketidak-berpihakan Indonesia maka perang terbuka akan seimbang bahkan peluang China memenangkan perang menjadi sangat besar.
Dapat terlihat bahwa 3 (tiga) unsur ancaman sudah terpenuhi pada tingkatan yang menurut penulis sudah pada level tinggi dan penulis yakin skenario perang telah disadari oleh Pemerintah walaupun akan terdapat perbedaan perspektif ukuran faktor ancaman Pemerintah dan penulis, dan semoga melalui tulisan ini, ancaman tersebut dapat disadari dan diketahui juga oleh rakyat Indonesia.
Khusus pada faktor keadaan mengapa penulis nilai pada level tinggi karena kanan + 1 (satu/belakang) akan kehilangan pengaruh dan kontrol atas Indonesia dan kelompok kiri yang lebih dekat ke China akan mengambil alih pengaruh dan kontrol tersebut secara politik pada PEMILU 2014, dari 2 (dua) partai yang memiliki kedekatan dengan kelompok kiri berpotensi besar dan juga masing-masing memiliki jagoan Capres dengan elektabilitas tertinggi nomor 1 dan nomor 2 menurut sejumlah survei, sepertinya akan memenangi mayoritas kursi legislatif dan perebutan Kepemimpinan Nasional, kedua partai ini merupakan koalisi sehingga dapat berkuasa secara stabil dan skenario kelompok kiri dapat berjalan tanpa hambatan berarti nantinya. Dengan hasil seperti ini, dapat ditebak akan memunculkan kemarahan Amerika Serikat, dan puncaknya adalah opsi cara-cara dengan menggunakan kekuataan akan terjadi.
Mengapa Indonesia begitu penting; hal ini dikarenakan Indonesia memiliki letak sangat strategis, menguasai Laut China Selatan belum berarti banyak apabila tidak bisa berpengaruh terhadap Selat Malaka; dan untuk berpengaruh di Selat Malaka yang merupakan wilayah teritori Indonesia berarti harus dapat memegang pengaruh dan kontrol di Indonesia, selain itu Indonesia dikenal berperan sebagai perekat kawasan (Asia Tenggara), apabila perekatnya hilang maka kawasan (Asia Tenggara) akan tercerai berai sehingga mudah diintervensi.
Keberpihakan Indonesia akan membuat China mendapatkan keuntungan, Indonesia dapat menjadi semacam pemotong dan/atau penghambat kekuatan terutama yang bergerak dari Australia, Singapura dan Malaysia. Atau setidaknya yang dibutuhkan oleh China adalah Indonesia dalam posisi tidak memihak siapapun, hal ini sama saja kawasan (Asia tenggara) tidak memiliki perekat dengan kondisi tersebut sudah lebih dari cukup bagi China memenangkan peperangan.
Peluang Amerika Serikat mempertahankan pengaruh dan kontrol atas Indonesia sangat kecil bila dikorelasikan dengan kondisi politik di Indonesia terkini, masyarakat sedang dalam titik terendah tingkat kekecewaannya terhadap Pemerintah yang mengelola Negara ini, kelompok kanan + 1 (satu/belakang) yang selama ini diuntungkan oleh penguasa telah diberikan cukup waktu untuk menunjukkan peranannya, anggap saja mulai dari tahun 1965 sampai 2014 berarti hampir 50 tahun keleluasaan didapatkan akan tetapi tidak memberi manfaat yang baik bagi Indonesia bahkan cenderung kesengsaraan, disisi lain kelompok kiri menawarkan harapan perubahan.
Ditambah dengan kondisi Amerika Serikat (prahara ekonomi), kalau dianalogikan mereka sekarang bagaikan kartu mati, tetap bersama mereka Indonesia tidak memiliki harapan perubahan malah sebaliknya memburuk karena akan dimanfaatkan untuk membantu menyehatkan keadaan mereka yang sedang sakit parah, disisi lain kondisi China sangat menjanjikan bagaikan sebuah bunga yang baru mekar dan sedang harum.
Skenario perang sudah didepan mata, rangkaian waktu akan dimulai pada saat pergantian pengaruh dan kontrol di Indonesia dari kelompok kanan + 1 (satu/belakang) ke kelompok kiri, namun ada sebuah pertanyaan lebih besar lainnya yang harus dijawab terkait isu ini, tidak saja kapan terjadinya; tetapi apa yang telah kita siapkan apabila terjadi?
Secara mental dan psikologis, penulis tidak akan meragukan kesiapan angkatan bersenjata maupun rakyat Indonesia atas skenario apapun yang akan dihadapi oleh bangsa ini, bukan tanpa alasan penulis meyakininya dan dapat terlihat dari beberapa argumen berikut, karena:
- Argumen pertama adalah karena secara budaya bangsa Indonesia dari jaman dahulu (pra-kolonial) terkenal sebagai bangsa perang, cerita-cerita kejayaan kerajaan Nusantara melegenda terutama di kawasan Asia sampai ke daratan India dan China sebagai bangsa penguasa dan siap bila peperangan terjadi.
- Argumen kedua adalah Indonesia cukup berpengalaman berperang pada jaman kolonial, kisah-kisah peperangan menghiasi perjalanan bangsa Indonesia demi kebebasan.
- Argumen ketiga adalah jaman Kemerdekaan, Indonesia dihiasi dengan peperangan pada 1 (satu) dekade awal merdeka.
- Argumen keempat adalah dijaman orde baru dan reformasi; peperangan Timor-Timur, peperangan melawan OPM dan GAM, ataupun peperangan dalam konteks dan skala berbeda yaitu konflik internal terutama masalah politik (Pilkada, Pilpres, dan lainnya).
- Argumen kelima adalah contoh nyata dari kasus khusus yaitu dengan Malaysia baik masalah sengketa perbatasan ataupun yang lebih sederhana persaingan pertandingan olahraga sepakbola, segenap komponen bangsa bergerak untuk menantang Malaysia berperang.
Kesimpulannya, secara mental dan psikologis Indonesia siap berperang, dan penulis justru memiliki penilaian sendiri mengenai karakteristik bangsa ini terkait perang; bahwa bila terjadi konflik terutama dengan pihak “asing” bangsa ini akan cenderung memilih berperang tanpa memikirkan menang atau kalah dan semangat atau kenekatan ini yang menjadi faktor “deterrence” penyebab musuh segan terhadap Indonesia.
Akan tetapi dalam memenangkan peperangan tidak cukup hanya bermodalkan mental, dukungan persenjataan juga harus diperhitungkan; Seperti sedikit disinggung diatas, saat ini Indonesia berada pada peringkat 15 kekuatan militer dunia akan tetapi melihat ke belanja militer yang hanya 8 Milyar USD masih sangat jauh dari cukup dalam menghadapi perang yang telah diilustrasikan.
Penulis berpendapat, Indonesia harus dapat meningkatkan kekuatannya untuk masuk setidaknya di peringkat 10 (sepuluh) besar, dan hal ini salah satu caranya dengan meningkatkan belanja militer yang juga masuk kategori 10 (sepuluh) besar sekitar 34 Milyar USD, melihat APBN saat ini yang sebesar 1700 Triliun Rupiah artinya Indonesia setidaknya mengalokasikan 20% dari total APBN untuk belanja militer.
Tujuan belanja militer yang besar adalah ketika skenario perang terjadi dan Indonesia terseret ke dalamnya; mengingat Indonesia dalam posisi mengerucut kepada aliansi dengan China berarti Indonesia harus siap berhadapan dengan kekuatan Negara-Negara tetangga yang tergabung dalam persemakmuran terutama Australia, Singapura dan Malaysia; untuk itu sangat diperlukan kekuatan serang (attack), mau tidak mau belanja militer sebesar 8 Milyar USD yang tujuannya mencegah (deterrence) tidak akan mencukupi, dan karena waktu yang sangat pendek dengan peningkatan signifikan maka diharapkan Indonesia dapat mengejar dan mengimbangi kekuatan gabungan Negara-Negara tersebut.
Tujuan lainnya adalah ketika skenario perang terjadi dan Indonesia memilih tidak terlibat (non-aliansi); Indonesia pada saat itu harus cukup kuat untuk membuat baik kanan maupun kiri berpikir keras sebelum mencoba untuk menyerang, dan kalaupun mereka menyerang; Indonesia dapat membendung kekuatan tersebut, hal ini sebagai tindakan pencegahan karena ketika dalam posisi non-aliansi tidak ada jaminan Indonesia tidak diserang oleh 2 (dua) kekuatan yang sedang memusatkan kekuatan perangnya di sekitar wilayah Indonesia.
Mungkinkah terpenuhi belanja militer sebesar 34 Milyar USD? Jawabannya hampir mustahil akan tetapi memungkinkan; target belanja sebesar 34 Milyar USD tidak dilaksanakan pada tahun pertama (2014) dan kedua (2015) Pemerintahan baru berkuasa, karena 2 (dua) tahun awal kekuasaan pemerintahan terpilih harus menyelesaikan masalah Nasional terlebih dahulu mengenai korupsi sistematis dan dihilangkan atau setidaknya ditekan secara sistem dengan diiringi tindakan tegas.
Begitu kompleksnya sistem yang ada membuat korupsi ini sulit dilawan namun penulis akan mengambil ide yang diutarakan oleh Eric Bonabeau, dalam jurnal yang berjudul Understanding and Managing Complexity Risk bahwa dalam menyelesaikan masalah yang rumit dibutuhkan tindakan penyederhanaan sehingga masalah tersebut dapat terlihat lebih mudah lalu mempermudah menemukan solusinya; akan tetapi ketika kompleksitas tersebut sudah sangat akut seperti yang ada di Indonesia maka berdasarkan pemikiran Eric Bonabeau dikatakan “complexity, not less, and that progression will continue unless war or revolution resets the entire system”; dapat juga diartikan perlunya sebuah tindakan revolusioner yaitu membuat sistem baru, hal ini dapat terlaksana dimulai dari kemauan kuat Pemerintahan terpilih dan Legislatif; serta dukungan penuh dari rakyat; bersama-sama sepakat bergerak sangat cepat menyusun perangkat sistem baru bagi Indonesia.
Bila korupsi sistematis tersebut dapat dihilangkan atau setidaknya ditekan dengan sistem baru pada tahun pertama maka pada tahun kedua diharapkan telah terlihat hasilnya, yaitu efisiensi dan efektifitas keuangan Negara (pemasukan dan pengeluaran) tambahan pemasukan keuangan harus ditargetkan atau memastikan kebocoran penggunaan keuangan Negara yang biasanya sebesar 10% - 20% tidak terjadi lagi; tentu angka sebesar 34 Milyar USD dapat terwujud dengan mudah. Mulai dari tahun ketiga 2016 sampai PEMILU 2019 merupakan waktu yang tersisa untuk memaksimalkan belanja militer Indonesia.
Itulah tantangan awal yang akan dihadapi oleh Pemerintahan terpilih 2014-2019 dan segenap komponen bangsa Indonesia dan masalah ini harus menjadi agenda semua pihak serta tidak dapat dianggap sepele, kegagalan mempersiapkan diri akan berdampak besar terhadap masa depan Indonesia; selain itu proses selama pelaksanaan Pemerintahan pasca PEMILU 2014 akan semakin berat terlebih pihak yang kalah tidak akan menyerah begitu saja sehingga tekanan dari dalam juga semakin besar dan butuh ketegasan dalam penanganannya; dampak dari ketidak-siapan (ancaman luar) dan pergesekan Nasional (ancaman dalam) tersebut dapat dibayangkan dari rangkaian ilustrasi pada tulisan ini adalah keruntuhan Republik Indonesia.
Bagaimanakah bila ternyata perang tersebut tidak terjadi? Jawabannya adalah Indonesia tetap perlu perubahan politik, perbaikan ekonomi dan peningkatan kekuatan pertahanan keamanan. Perubahan politik dapat dipastikan dimenangkan dan menjadi milik kelompok kiri, kelompok kanan + 1 (satu/belakang) tersingkirkan, kelompok depan belum dapat berperan banyak melihat kondisi saat ini tidak adanya figur dan dukungan yang kuat dari rakyat membuat mereka sebagai kelompok yang tidak menang namun dapat bertahan, kelompok depan dapat memilih bergabung dengan kiri atau membangun kekuatan politik untuk merebut pengaruh dan kontrol di Indonesia di masa depan.
Bagaimanakah Indonesia dalam pengaruh dan kontrol kelompok kiri serta kedekatan dengan China nantinya? Sejarah membuktikan bahwa bangsa China dan Arab pada jaman pra-kolonial yang menjalin hubungan dengan bangsa ini bersifat timbal balik saling menguntungkan, bila memang nanti kelompok kiri memenangkan pengaruh dan kontrol di Indonesia, bangsa ini harus memastikan prinsip saling menguntungkan berjalan dengan benar dari hubungan Indonesia – kubu kiri (China); serta tetap memiliki batasan yang jelas dan tegas terkait masalah Ideologi dan Kepentingan Nasional, jangan sampai terulang keadaan menyedihkan dari hasil hubungan kita dengan kelompok kanan + 1 (satu/belakang).
Selain itu, bangsa Indonesia dalam masa perubahan harus sudah memikirkan kemandirian secara menyeluruh, sehingga menjadi bangsa yang memiliki prinsip kuat dan tegas, suatu saat apabila ternyata hubungan baru dengan kelompok kiri yang terjalin tidak lebih baik dari hubungan lama dengan kelompok kanan + 1 (satu/belakang), Indonesia telah siap memutuskan hubungan tanpa menganggu stabilitas Negara.
Dilihat dari aspek ekonomi kedekatan dengan kubu kiri terutama China yang sedang mengalami pertumbuhan pesat, dengan hubungan kemitraan sejajar dan saling menguntungkan maka Indonesia akan menjelma menjadi kekuatan sama besarnya dalam waktu singkat; ditambah dari aspek pertahanan keamanan, kerjasama 2 (dua) Negara besar dengan kekuatan besar di kawasan ini akan membuat Indonesia disegani lawan maupun kawan; terakhir dari aspek politik, selama Pemerintahan terpilih bekerja setulus hati demi kepentingan rakyat maka kejayaan dan kemakmuran pada masa emas bangsa Indonesia dapat kembali bersinar.
Perubahan kearah yang lebih baik inilah yang diimpikan sebagian besar rakyat Indonesia, dan saat ini tawaran kelompok kiri yang sedang tumbuh pesat secara timing sangat tepat bersamaan dengan kondisi kelompok kanan + 1 (satu/belakang) yang sedang terjun bebas dan sedang sekarat sehingga tidak dapat diharapkan membawa perubahan terlebih kesempatan yang pernah mereka dapatkan tidak dimanfaatkan dengan baik dan benar, namun justru menyakiti hati rakyat Indonesia, kelompok depan pun sedang dirudung banyak permasalahan serta tidak adanya figur yang menarik hati rakyat membuat jalan kelompok kiri menjadi sangat mulus; semoga perubahan yang diimpikan tersebut tercipta seiring pergantian kelompok yang berpengaruh dan mengontrol di Indonesia, sudah cukup lama bangsa ini terpuruk ibarat tikus yang mati di lumbung padi, dan sekarang saatnya Indonesia menjadi tuan tanah yang menikmati hasilnya.
Penutup
Dari uraian tulisan ini, penulis menarik kesimpulan, sebagai berikut:
1. Indonesia menghadapi ancaman luar (perang) dan dalam (konflik nasional) pada waktu dekat dan butuh respon cepat, tepat, dan terarah agar Indonesia siap dan tanggap sehingga keruntuhan Indonesia tidak terjadi.
2. Indonesia tidak memiliki banyak waktu hanya 1 (satu) periode kepemimpinan yaitu 5 tahun (2014-2019) sebagai penentu utama bagi masa depan Indonesia.
3. Indonesia sedang kritis, penderitaan dan kekecewaan rakyat sangat tinggi sehingga dibutuhkan perubahan yang revolusioner.
4. Hegemoni dunia bergeser dan akan pindah dari Amerika Serikat ke China, Indonesia sudah semestinya cerdas dalam menyikapi dinamika ini sehingga tidak ‘stuck’ bersama orang sakit yang selama ini menyengsarakan; bergerak mencari perubahan, dan saat ini pilihan terbaik yang tersisa bersama orang baru yang sedang bersinar.
5. Selama dalam proses perubahan dengan ataupun tanpa bantuan pihak “luar”, Indonesia harus memikirkan dan berusaha bangkit demi mengarah ke kemandirian sejati.
Penulis juga menitipkan saran kepada beberapa pihak, yaitu:
1. Rakyat: bersatulah jangan mudah diadu-domba, ciptakan stabilitas dengan tetap bergerak menuju perubahan dan kemandirian.
2. Kelompok kanan + 1 (belakang): mulailah mempertimbangkan kembali secara matang hubungan dengan pihak “luar” (kubu kanan), karena mereka sedang terpuruk dan sepertinya akan jatuh, tentunya jangan sampai ikut terjatuh bersama mereka.
3. Kelompok kiri: Jagalah kepercayaan yang diberikan rakyat Indonesia, berjuanglah dengan sepenuh hati dan maksimal demi kemajuan dan kejayaan Indonesia di masa depan, waktu anda tidak banyak untuk membuktikan diri bahwa anda layak dipercaya.
4. Kelompok depan: Tetaplah berjuang dalam koridor kebaikan, bangunlah kekuatan politik dan tunjukan diri bahwa masa anda akan tiba.
5. Semua pihak baik luar maupun dalam: Indonesia adalah Negara perang, Indonesia tidak takut berperang, bila waktunya tiba Indonesia siap menyambutnya, sebelum tiba pikirkan dan persiapkan dengan matang peperangan tersebut.
Dari kacamata stratejik masih banyak yang dapat penulis eksplorasi mengenai isu dalam tulisan ini; maka dari itu tulisan ini akan terus berkembang dan bersambung ke tulisan lain, selanjutnya penulis akan mencoba memperkuat pembahasan dengan tulisan lebih fokus mengupas terhadap sub-sub dari isu utama secara satu persatu agar menjadi satu kesatuan dalam membuka cakrawala pembaca dan menjadi pengetahuan yang memberikan manfaat bagi pembaca.
Silahkan disebarkan bila artikel ini bermanfaat.
Baca juga:
Download Pdf.