Gara-gara Isu Daging Babi, Ribuan Pedagang Bakso di Semarang Bangkrut
Semarang - Sebanyak 30 persen dari 3.200 pedagang bakso keliling di Semarang terpaksa pulang kampung akibat merebaknya isu bakso daging babi hutan. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Asosiasi Pedagang Mi dan Bakso (Apmiso) Jateng, Lasiman.
"Setelah isu daging celeng merebak, masyarakat jadi ragu-ragu membeli. Akibatnya 30 persen pedagang keliling pulang," kata Lasiman usai acara Sosialisasi Pembuatan Bakso Sehat di depan tempat penggilingan daging, Jl Suyudono, Semarang, Senin (24/12/2012).
Ia menambahkan para pedagang bakso keliling sementara harus pulang kampung karena menurunnya pembelian akibat isu yang beredar sejak satu bulan lalu itu. Di kampung, lanjut Lasiman, para pedagang bakso keliling tidak bisa berbuat banyak dan berharap bisa kembali berdagang kembali.
"Mereka memilih pulang kampung. Mereka tidak cari jalan keluar, padahal anak istri butuh biaya. Kebanyakan dari Purwodadi," tandas Lasiman.
Salah seorang pengusaha bakso, Sugiyono (62) juga mengeluhkan isu bakso daging babi hutan karena omzetnya menurun hingga 30 persen. Menurut Sugiyono, efek dari isu tersebut adalah yang terbesar setelah sebelumnya menyebar isu bakso formalin, boraks dan daging anjing.
"Mulai isu bakso boraks, bakso werok (tikus), bakso anjing tidak sampai seperti ini. Bahkan harga daging sapi yang naik sudah bisa diatasi. Tapi gara-gara bakso daging babi hutan omzet menurun 30 persen," kata pria yang mempunyai tiga warung bakso di Semarang itu.
"Bahkan isu bakso daging babi hutan sampai dibahas pejabat-pejabat kayak membahas soal negara saja. Padahal itu cuma oknum, tidak semua," imbuhnya.
Menanggapi hal itu, Apmiso Jateng meyakinkan masyarakat bahwa pedagang bakso di Semarang dan Jawa Tengah tidak menggunakan daging babi maupun daging babi hutan dengan cara sosialisasi dan membagikan bakso gratis. Apmiso juga menunjukkan cara penggilingan bakso kepada masyarakat.
"Meski harga daging mencapai Rp 85 ribu per kilogram, kita melakukan modifikasi dengan mencampur 50 persen daging lokal dan 50 persen daging impor. Rasanya lebih enak," ujar Lasiman.
Pencampuran daging lokal dan impor tersebut juga sebagai antisipasi agar pedagang bakso tidak kolaps dan pedagang daging lokal tetap bertahan. "Sudah dua minggu. Pertama impor 2,7 ton dari Australia, minggu ini 10 ton untuk Kota Semarang, Kabupaten Grobogan, Kendal dan Demak," pungkasnya.
"Kalau harga daging kembali normal, kami tidak pakai daging impor lagi," imbuh Lasiman.
Ia berharap dengan adanya sosialisasi tersebut masyarakat tidak takut lagi untuk mengonsumsi bakso. Lasiman menjamin bakso di Kota Semarang dan Jawa Tengah bebas dari daging babi maupun babi hutan.
"Harga daging babi mahal dan daging babi hutan kan tidak beredar di Jawa Tengah," tutup Lasiman.
"Setelah isu daging celeng merebak, masyarakat jadi ragu-ragu membeli. Akibatnya 30 persen pedagang keliling pulang," kata Lasiman usai acara Sosialisasi Pembuatan Bakso Sehat di depan tempat penggilingan daging, Jl Suyudono, Semarang, Senin (24/12/2012).
Ia menambahkan para pedagang bakso keliling sementara harus pulang kampung karena menurunnya pembelian akibat isu yang beredar sejak satu bulan lalu itu. Di kampung, lanjut Lasiman, para pedagang bakso keliling tidak bisa berbuat banyak dan berharap bisa kembali berdagang kembali.
"Mereka memilih pulang kampung. Mereka tidak cari jalan keluar, padahal anak istri butuh biaya. Kebanyakan dari Purwodadi," tandas Lasiman.
Salah seorang pengusaha bakso, Sugiyono (62) juga mengeluhkan isu bakso daging babi hutan karena omzetnya menurun hingga 30 persen. Menurut Sugiyono, efek dari isu tersebut adalah yang terbesar setelah sebelumnya menyebar isu bakso formalin, boraks dan daging anjing.
"Mulai isu bakso boraks, bakso werok (tikus), bakso anjing tidak sampai seperti ini. Bahkan harga daging sapi yang naik sudah bisa diatasi. Tapi gara-gara bakso daging babi hutan omzet menurun 30 persen," kata pria yang mempunyai tiga warung bakso di Semarang itu.
"Bahkan isu bakso daging babi hutan sampai dibahas pejabat-pejabat kayak membahas soal negara saja. Padahal itu cuma oknum, tidak semua," imbuhnya.
Menanggapi hal itu, Apmiso Jateng meyakinkan masyarakat bahwa pedagang bakso di Semarang dan Jawa Tengah tidak menggunakan daging babi maupun daging babi hutan dengan cara sosialisasi dan membagikan bakso gratis. Apmiso juga menunjukkan cara penggilingan bakso kepada masyarakat.
"Meski harga daging mencapai Rp 85 ribu per kilogram, kita melakukan modifikasi dengan mencampur 50 persen daging lokal dan 50 persen daging impor. Rasanya lebih enak," ujar Lasiman.
Pencampuran daging lokal dan impor tersebut juga sebagai antisipasi agar pedagang bakso tidak kolaps dan pedagang daging lokal tetap bertahan. "Sudah dua minggu. Pertama impor 2,7 ton dari Australia, minggu ini 10 ton untuk Kota Semarang, Kabupaten Grobogan, Kendal dan Demak," pungkasnya.
"Kalau harga daging kembali normal, kami tidak pakai daging impor lagi," imbuh Lasiman.
Ia berharap dengan adanya sosialisasi tersebut masyarakat tidak takut lagi untuk mengonsumsi bakso. Lasiman menjamin bakso di Kota Semarang dan Jawa Tengah bebas dari daging babi maupun babi hutan.
"Harga daging babi mahal dan daging babi hutan kan tidak beredar di Jawa Tengah," tutup Lasiman.
detik.com
0 komentar:
Posting Komentar